Jumat, 18 November 2016

PTK MODEL MAKE A MATCH

PENERAPAN METODE MAKE A MATCH
UNTUK MENINGKATKAN PRESTASI BELAJAR SISWA PADA MATA PELAJARAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM DI KELAS IV SEKOLAH DASAR NEGERI ……………..


  





KARYA TULIS ILMIAH



Diajukan sebagai Satu Syarat Pengembangan Profresi Guru dan
Dipergunakan untuk Kenaikan Pangkat dan Golongan


Oleh







KATA PENGANTAR

Dengan segala ketundukan hati, penulis memanjatkan rasa syukur yang sedalam- dalamnya kepada Allah azza wa jalla yang telah memberikan izin dan karunia Nya, sehingga penulis dapat merampungkan hasil penelitian dalam sebuah Karya Tulis Ilmiah. Salam dan shalawat atas Nabi Allah, Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam yang diutus Allah kepada ummat sebagai panutan menuju keselamatan hidup dunia dan akhirat dengan memberikan kabar gembira dan ancaman.
Setelah melalui berbagai upaya, rintangan, dan pengalaman, penulis akhirnya dapat menyelesaikan Karya Tulis Ilmiah ini dengan judul “Penerapan Metode Make a Match untuk Meningkatkan Prestasi Belajar Siswa pada Mata Pelajaran Pendidikan Agama Islam di Kelas IV Sekolah Dasar Negeri Tanggul Patompo 1 Makassar Tahun Pelajaran 2013/2014” sebagai salah satu persyaratan kenaikan pangkat.
Sebagai makhluk, tentunya manusia tidak dapat sempurna dengan dirinya sendiri. Allah azza wajalla juga mencela hambaNya yang enggan bersyukur kepada sesama, olehnya itu, penulis menghaturkan banyak terima kasih kepada segenap pihak yang telah memberikan sumbangsih yang berharga. Penulis juga berbesar hati untuk menerima tanggapan, masukan dan kritikan yang akan memperkaya wawasan untuk perbaikan kualitas di masa mendatang.
Makassar,    Mei 2016
Penulis




ABSTRAK

Lasmina, 2016,  Penerapan Metode Pembelajaran Kooperatif  Model Make a Match untuk Meningkatkan Prestasi Belajar Siswa pada Mata Pelajaran Pendidikan Agama Islam di Kelas IV Sekolah Dasar Negeri ……………. Penelitian Tindakan Kelas

Kata Kunci: Pembelajaran PAI, Metode Pembelajaran Kooperatif  Model Make a Match


Pendidikan dasar memiliki tujuan membangun fondasi untuk berkembangnya manusia holistik, yaitu manusia yang utuh atau menyeluruh yang terdiri atas unsur biologis, psikologis, sosial dan spiritual yang mana semua organisme hidup ini saling berinteraksi. 
Pendidikan pada anak usia dini (TK dan SD) adalah masa- masa paling kritis dalam membangun fondasi ini. Oleh sebab itu, pelaksana pendidikan harus mensinergikan seluruh daya upaya untuk dapat menciptakan lingkungan pendidikan yang kondusif untuk mencapai tujuan pendidikan itu sendiri. 
Penelitian Tindakan Kelas ini berdasar pada rumusan permasalahan berikut: a) Bagaimanakah motivasi belajar Pendidikan Agama Islam dengan diterapkannya Metode Pembelajaran Koopereatif  Model Make a Match pada siswa Kelas IV SDN ……………., b) Bagaimanakah peningkatan prestasi belajar Pendidikan Agama Islam dengan diterapkannya Metode Pembelajaran Kooperatif  Model Make a Match pada siswa Kelas IV SDN ……………………………..
Tujuan dari Penelitian Tindakan Kelas ini adalah: a) Untuk mengetahui pengaruh motivasi belajar Pendidikan Agama Islam dengan Metode Pembelajaran Kooperatif  Model Make a Match  pada siswa Kelas IV SDN …………………….., b) Untuk mengetahui peningkatan prestasi belajar Pendidikan Agama Islam dengan Metode Pembelajaran Kooperatif  Model Make a Match pada siswa Kelas IV SDN .............................................................................., c) Untuk menyempurnakan penyelenggaraan Pendidikan Agama Islam dalam rangka meningkatkan motivasi dan prestasi belajar siswa Kelas IV SDN Tanggul Patompo 1 Makassar tahun pelajaran 2013/2014.
PTK ini dilaksanakan sebanyak dua siklus atau dua kali putaran. Setiap siklus terdiri atas empat tahapan yaitu: a) Perencanaan, b) Tindakan, c) Observasi, dan d) Refleksi. Sasaran penelitian ini adalah siswa kelas IV SDN ............................................................................... Data diperoleh dari lembar tes hasil ulangan di akhir siklus dan data observasi berupa angket selama proses pembelajaran.
Dari hasil analisis data didapatkan bahwa motivasi belajar siswa meningkat dari pra siklus hingga siklus II. Prestasi belajar siswa juga meningkat dari pra siklus, siklus I hingga siklus II yang secara berurut yaitu: 7.75 >  8.36 > 8.9 untuk nilai rata- rata kelas dan 37.8% >  75.7% > 100 untuk ketuntasan belajar secara klasikal.
            Simpulan dari penelitian ini adalah Metode Pembelajaran Make a Match berdampak positif bagi peningkatan motivasi dan prestasi belajar PAI Siswa Kelas IV SDN ............................................................................... 






DAFTAR ISI

Halaman
Halaman Judul………………………………………………………………   i
Halaman Pengesahan……………………………………………………….   ii
Kata Pengantar………………………………………………………………  iii
Abstrak………………………………………………………………………   iv
Daftar Isi…………………………………………………………………….   v
BAB I PENDAHULUAN
A.       Latar Belakang Masalah………………………………………..   1
B.       Rumusan Masalah………………………………………………  4
C.       Batasan Masalah………………………………………………..   4
D.       Tujuan Penelitian……………………………………………….  5
E.        Manfaat Penelitian………………………………………………  5
F.        Defenisi Operasional Variabel………………………………….   6
BAB II KAJIAN PUSTAKA
A.       Pembelajaran Pendidikan Agama Islam……………………….   7
B.       Motivasi Belajar…………………………………………………  11
C.       Prestasi Belajar………………………………………………….   12
D.       Metode Pembelajaran Kooperatif Model Make a Match ……...   15
BAB III METODOLOGI PENELITIAN
A.       Jenis Penelitian………………………………………………….  21
B.       Rancangan Penelitian…………………………………………..   22
C.       Tempat dan Waktu Penelitian………………………………….   25
D.       Subyek Penelitian……………………………………………….  25
E.        Instrumen Penelitian……………………………………………  26
F.        Prosedur Penelitian……………………………………………..   26
G.       Analisis Data……………………………………………………   27
BABIV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A.       Hasil Kuantitatif Belajar Siswa…………………………………  30
B.       Hasil Analisis Kualitatif………………………………………..   42
C.       Refleksi terhadap Pelaksanaan Tindakan………………………   43
D.       Pembahasan……………………………………………………..   44
BAB V SIMPULAN DAN SARAN
A.       Simpulan………………………………………………………..   46
B.       Saran…………………………………………………………….   47
DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………….   48
LAMPIRAN…………………………………………………………………   50







BAB I
PENDAHULUAN

A.      Latar Belakang Masalah
Agama Islam adalah satu- satunya agama yang diridhai Allah  azza wajalla. Agama Islam sempurna mengatur  setiap segi kehidupan manusia untuk memperoleh rahmat Allah.  Di antara kesempurnaan Agama Islam adalah adanya tuntunan yang mementingkan pendidikan. Dalam al- Qur’an Surah al- Baqarah: 31 Allah menerangkan:
Dan Dia ajarkan kepada Adam nama- nama (benda) semuanya, kemudian Dia perlihatkan kepada malaikat, seraya berfirman “Sebutkan kepadaKu nama semua benda ini jika kamu yang benar”

Allah azza wajalla memberikan pendidikan langsung kepada hambaNya, Nabi Adam ‘alaihissalam berupa pengenalan terhadap nama- nama benda. Dari gambaran ayat tersebut dapat dipahami bahwa pendidikan atau pengajaran adalah bagian yang tidak terpisahkan dengan Agama Islam.
Pendidikan merupakan salah satu kunci kemajuan, semakin baik kualitas pendidikan yang diselenggarakan oleh suatu bangsa, maka akan diikuti dengan semakin baik pula kualitas bangsa tersebut. Tidak hanya pendidikan duniawi, akan tetapi pendidikan ukhrawi juga memegang peranan penting terhadap kemajuan bangsa. Hal tersebut dapat dibuktikan dengan Undang- Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 3 yang menyatakan bahwa pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Pembentukan kepribadian yang mulia, harus dimulai sejak dini. Pendidikan usia dini secara konsen dimulai dari sekolah dasar. Pada jenjang sekolah dasar ini nilai- nilai moral dan agama telah harus ditanamkan dalam diri siswa. Wujud dari upaya tersebut adalah dengan diberlakukannya Mata Pelajaran Pendidikan Agama Islam, yang mana diharapkan mata pelajaran ini dapat menjadi salah satu mata pelajaran yang membantu pencapaian tujuan pendidikan nasional.
Menyandingkan antara tujuan pendidikan nasional dengan realitas, ditemui perbedaan yang signifikan. Jika pendidikan nasional mengharapkan terbentuknya pribadi yang cerdas, berakhlak mulia, beriman dan bertakwa kepada Tuhan yang Maha Esa, maka realitas mempersembahkan kondisi sebaliknya.  Sebuah situs informasi terpercaya, Sindonews.com memaparkan berbagai perilaku penyimpangan anak di bawah umur, termasuk umur yang setara dengan sekolah dasar, di antara judul artikelnya adalah: 107 Anak di Depok Terlibat Kasus Hukum; Bocah Bau Kencur Lakukan Kejahatan Sadis; Tak Ada Efek Jera Kenakalan Anak Terus Terjadi; Aksi Kriminalitas Anak Merajalela.

Dari data tersebut di atas dapat dilihat bahwa Indonesia mengalami ketertinggalan dalam dalam mutu pendidikan, secara khusus pada pendidikan nilai- nilai moral dan agama. Hal tersebut mengindikasikan adanya aspek- aspek yang harus dibenahi dalam penyelenggaraan pendidikan, khususnya pada Pendidikan Agama Islam. Ada beberapa faktor yang menyebabkan tidak tercapainya tujuan pembelajaran, baik dari faktor internal guru  maupun faktor eksternal. Di antara faktor internal guru adalah kekurangcakapan guru dalam menyajikan mata pelajaran sehingga minat belajar siswa tidak terbangun yang menyebabkan prestasi belajar mereka rendah dan kemudian mempengaruhi diri siswa secara akal dan emosional. Irmin menyatakan bahwa guru adalah potret yang selalu menjadi bagian tak terpisahkan dari upaya mencerdaskan bangsa. Diakui atau bahkan dilupakan, guru adalah salah satu komponen pencipta peradaban (Irmin, 2004: 1). Dengan menyadari hal tersebut, maka hendaknya seorang guru tidak menyelenggarakan proses pembelajaran yang diembannya dengan apa adanya.
Olehnya itu, penulis berupaya menemukan satu langkah strategis pembelajaran Pendidikan Agama Islam dengan menggunakan metode yang efektif dan sejalan dengan kebutuhan siswa sekolah dasar, yaitu Metode Pembelajaran Kooperatif Model Make a Match. Penulis meramu penerapan metode ini dengan judul Penerapan Metode Pembelajaran Kooperatif Model Make a Match untuk Meningkatkan Prestasi Belajar Siswa pada Mata Pelajaran Pendidikan Agama Islam di Kelas IV Sekolah Dasar Negeri ....................................................
B.       Rumusan Masalah
Berdasarkan pada latar belakang di atas, maka yang menjadi rumusan masalah dalam pembahasan ini adalah:
1.    Bagaimanakah motivasi belajar Pendidikan Agama Islam dengan diterapkannya Metode Pembelajaran Kooperatif Model Make a Match pada siswa Kelas IV SDN ...............................................?
2.    Bagaimanakah peningkatan prestasi belajar Pendidikan Agama Islam dengan diterapkannya Metode Pembelajaran Kooperatif Model Make a Match pada siswa Kelas IV SDN ...................................?

C.  Batasan Masalah
1.    Penelitian ini hanya dikenakan pada siswa Kelas IV SDN ................................................................
2.    Penelitian ini diselenggarakan pada Bulan Februari hingga Bulan April semester genap tahun 2014.
3.    Materi yang disampaikan dalam penelitian ini adalah iman kepada Malaikat.

D.  Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
1.    Untuk mengetahui pengaruh motivasi belajar Pendidikan Agama Islam dengan Metode Pembelajaran Kooperatif Model Make a Match pada siswa Kelas IV SDN ................................
2.    Untuk mengetahui peningkatan prestasi belajar Pendidikan Agama Islam dengan Metode Pembelajaran Kooperatif Model Make a Match  pada siswa Kelas IV SDN .................................................
3.    Untuk menyempurnakan penyelenggaraan Pendidikan Agama Islam dalam rangka meningkatkan motivasi dan prestasi belajar siswa Kelas IV SDN ............................................................

E.       Manfaat Penelitian
Penyusunan karya tulis ilmiah sebagai hasil dari penelitian penulis ini diharapkan dapat bermanfaat untuk:
1.    Menjadi bahan informasi dan penambahan wawasan dalam dunia pendidikan.
2.    Menjadi rujukan praktis bagi guru dalam menyelenggarakan pembelajaran Pendidikan Agama Islam di kelas, secara khusus guru sekolah dasar.
3.    Memotivasi guru Pendidikan Agama Islam untuk menerapkan metode pembelajaran yang tepat agar dapat tercapai tujuan pembelajaran Pendidikan Agama Islam itu sendiri.
4.    Menambah referensi karya ilmiah metode pembelajaran yang tepat untuk  Mata Pelajaran Pendidikan Agama Islam yang dapat dimanfaatkan oleh berbagai pihak yang membutuhkan.


F.       Defenisi Operasional Variabel
Untuk membatasi persepsi tidak keluar dari pembahasan, maka penulis menguraikan defenisi operasional sebagai berikut:
1.    Metodologi Pembelajaran Kooperatif Model Make a Match
Metodologi atau strategi mengajar/ pengajaran adalah taktik yang digunakan guru dalam melaksanakan proses belajar mengajar (pengajaran) agar dapat mempengaruhi  siswa untuk dapat mencapai tujuan pengajaran  secara lebih efektif dan efisien (Rohani, 2004).
Metodologi Pembelajaran Kooperatif  Model Make a Match adalah salah satu model pembelajaran dari metodologi pembelajaran kooperatif yang ciri khasnya adalah mencari pasangan. Setiap siswa mendapat sebuah kartu (bisa soal atau jawaban), lalu secepatnya mencari pasangan yang sesuai dengan kartu yang ia pegang. Suasana pembelajaran dalam Metode Pembelajaran Kooperatif  Model Make a Match akan riuh, tetapi sangat asik dan menyenangkan (Dzaki, 2009). Dari nama model pembelajaran ini telah dapat digambarkan alur kerjanya, yaitu mencari pasangan.
2.    Prestasi belajar
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, prestasi diterjemahkan sebagai hasil yang telah dicapai (dari yang telah dilakukan, dikerjakan, dan sebagainya); Belajar adalah penguasaan pengetahuan atau keterampilan yang dikembangkan melalui mata pelajaran, lazimnya ditunjukkan dengan nilai tes atau angka nilai yang diberikan oleh guru. (KBBI. Diakses pada 28 Oktober 2016).
Prestasi belajar adalah puncak hasil belajar yang dapat mencerminkan hasil keberhasilan belajar siswa terhadap tujuan belajar yang telah ditetapkan. Hasil belajar siswa dapat meliputi aspek kognitif (pengetahuan), aspek afektif (sikap) dan aspek kognitif (tingkah laku) (Olivia, 2011: 73).  


BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A.      Pembelajaran Pendidikan Agama Islam
1.        Defenisi Pembelajaran
Undang- Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 3 menyatakan bahwa pembelajaran adalah proses interaksi antara peserta didik dengan pendidik dan sumber belajar pada suatu lingkungan belajar.
Pembelajaran sebagai proses belajar yang dibangun oleh guru untuk mengembangkan kreatifitas berfikir yang dapat meningkatkan kemampuan berfikir siswa dan dapat meningkatkan kemampuan mengkonstruksikan pengetahuan baru sebagai upaya meningkatkan penguasaan yang baik terhadap materi pelajaran.
Pembelajaran adalah proses, cara menjadikan orang atau makhluk hidup belajar (KBBI, 1996:14). Tanggung jawab pembelajaran secara langsung ada pada pundak seorang guru yang bertanggung jawab menciptakan lingkungan belajar bagi siswa sehingga siswa menjadi makhluk hidup belajar. Dengan demikian maka dalam proses pembelajaran harus tercipta interaksi positif dan interaktif antara siswa dan guru dengan memanfaatkan sumber- sumber pembelajaran yang ada, termasuk metode- metode pengajaran.


2.        Pendidikan Agama Islam
Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran  agar peserta didik secara aktif  mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara (RI No.20: 2003).
Pendidikan dalam pengertian bahasa disebut the process of training and developing the knowledge, skills, mind, character, etc., especially by formal schooling (proses melatih dan mengembangkan pengetahuan, keterampilan, pikiran, perilaku, dan lain- lain, terutama oleh sekolah formal) (Qodry,18:2003). Dari pengertian bahasa ini, telah tergambar bahwa dalam proses pendidikan tidak hanya diajarkan mengenai ilmu pengetahuan dan keterampilan, akan tetapi diajarkan pula cara berfikir dan berperilaku yang benar.
Menurut Qodry, ada tiga hal penting yang akan ditransfer melalui pendidikan, yaitu nilai (values), pengetahuan (knowledge), dan keterampilan (skills) (Qodry,19: 2003). Nilai (values) inilah yang menjadi salah satu pusat perhatian dasar Mata Pelajaran PAI. Dengan masuknya Pendidikan Agama Islam dalam kurikulum pendidikan sekolah, maka ketiga hal penting seperti yang disebutkan di atas dapat diciptakan.
Pendidikan Agama Islam adalah upaya sadar dan terencana dalam menyiapkan peserta didik untuk mengenal, memahami, menghayati, mengimani, bertakwa, berakhlak mulia, mengamalkan ajaran Islam dari sumber utamanya kitab suci al-Qur’an dan Hadits, melalui kegiatan bimbingan, pengajaran, latihan, serta penggunaan pengalaman (Depdiknas,  2003: 7).
Fungsi Pendidikan Agama Islam pada sekolah dasar adalah: (a) Penanaman nilai ajaran Islam sebagai pedoman mencapai kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat; (b) Pengembangan keimanan dan ketakwaan kepada Allah subhanahu wata’ala serta akhlak mulia peserta didik seoptimal mungkin, yang telah ditanamkan lebih dahulu dalam lingkungan keluarga; (c) Penyesuaian mental peserta didik terhadap lingkungan fisik dan sosial melalui Pendidikan Agama Islam; (d) Perbaikan kesalahan- kesalahan, kelemahan- kelemahan peserta didik dalam keyakinan, pengamalan ajaran agama Islam dalam kehidupan sehari- hari; (f) Pengajaran tentang ilmu pengetahuan keagamaan secara umum (alam nyata dan non nyata), sistem dan fungsionalnya; (g) Penyaluran siswa untuk mendalami pendidikan ke lembaga pendidikan yang lebih tinggi (Depdiknas,  2003: 8).
Selanjutnya, Pendidikan Agama Islam di bangku sekolah memiliki tujuan untuk menumbuhkan dan meningkatkan keimanan, melalui pemberian dan pemupukan pengetahuan, penghayatan, pengamalan, serta pengalaman peserta didik tentang agama Islam sehingga menjadi manusia muslim yang terus berkembang dalam hal keimanan dan ketakwaannya kepada Allah subhanahu wata’ala, serta berakhlak mulia dalam kehidupan pribadi, bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara serta untuk dapat melanjutkan pada jenjang yang lebih tinggi (Depdiknas,  2003:8)
                                                                                                                                                                                 
B.       Prestasi Belajar
Secara umum, belajar dapat terjadi dimana saja, kapan saja, dan dengan siapa saja terlepas ada tidaknya orang yang secara sengaja member pengajaran atau tidak. Belajar merupakan proses alami yang terjadi dalam kehidupan sebagai akibat dari adanya interaksi antar individu.
Hasil belajar dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia juga disebut sebagai prestasi belajar. Secara akademis, hasil belajar dapat dinilai dengan cara:
1.    Penilaian formatif
Penilaian formatif adalah kegiatan penilaian yang bertujuan untuk mencari umpan balik (feedback), yang selanjutnya hasil penilaian tersebut dapat digunakan untuk memperbaiki proses belajar-mengajar yang sedang atau yang sudah dilaksanakan.
2.        Penilaian Sumatif.
Penilaian sumatif adalah penilaian yang dilakukan untuk memperoleh data atau informasi sampai dimana penguasaan atau pencapaian belajar siswa terhadap bahan pelajaran yang telah dipelajarinya selama jangka waktu tertentu (Syah, 2006: 23).
Secara umum, tujuan pelaksanaan pembelajaran adalah untuk meningkatkan kecakapan siswa terhadap aspek kognitif, afektif dan psikomotor meskipun saat ini telah berkembang sebuah teori kecerdasan jamak oleh Howard Gardner. Hal ini ditegaskan Sudjana (2009:49) yang menyatakan bahwa ketiga aspek (kognitif, afektif dan psikomotor) tersebut tidak dapat berdiri sendiri-sendiri tetapi merupakan satu kesatuan, dan harus dipandang sebagai sasaran hasil belajar.
Ketiga kecakapan yang ditingkatkan tersebut selanjutnya terwujud pada apa yang disebut sebagai hasil belajar. Hasil belajar merupakan hasil akhir (umumnya dinyatakan dalam bentuk nilai belajar) yang diperoleh siswa terhadap serangkaian kegiatan evaluasi yang dilakukan guru baik evaluasi harian, tengah semester maupun evaluasi akhir semester. Dimaksudkan untuk mengukur sejauhmana penguasaan siswa terhadap materi pelajaran yang telah diberikan. Berdasarkan nilai yang diperoleh, maka siswa dapat diklasifikasikan hasil belajarnya apakah berada pada kategori sangat baik, baik, sedang, cukup, atau kurang sesuai dengan standar penilaian yang digunakan di sekolah atau guru mata pelajaran itu sendiri.
Sudjana membagi tiga macam hasil belajar, yaitu : a) keterampilan dan kebiasan, b) pengetahuan dan pengertian, c) sikap dan cita-cita. Ketiganya dapat diisi dengan bahan yang ditetapkan dalam kurikulum sekolah (Sudjana, 2009: 45).
Setiap proses belajar selalu menghasilkan hasil belajar. Masalah yang dihadapi adalah sampai dimana hasil belajar yang telah dicapai. Proses belajar tidak mungkin dicapai begitu saja, banyak faktor yang mempengaruhi sehingga seorang anak mampu mencapai hasil atau keberhasilan dalam belajar. (Djamarah dan Zain, 2006: 121)
Kesimpulan yang dapat penulis tarik dari beberapa pendapat ahli di atas adalah prestasi belajar merupakan suatu hasil yang diperoleh setelah melalui proses belajar dalam jangka waktu tertentu yang dinilai dari aspek kognitif, afektif, dan psikomotorik, yang mana prestasi belajar dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu faktor internal dan faktor eksternal.

C.      Motivasi Belajar
1.        Pengertian Motivasi Belajar
Motivasi adalah proses yang menjelaskan intensitas, arah, dan ketekunan seorang individu untuk mencapai tujuannya. Tiga elemen utama dalam definisi ini diantaranya adalah intensitas, arah, dan ketekunan (Wikipedia).
Motivasi adalah suatu dorongan kehendak yang menyebabkan seseorang melakukan perbuatan untuk mencapai tujuan tertentu (Hakim, 2000: 26)
Motivasi adalah faktor- faktor yang mengarahkan dan mendorong perilaku atau keinginan seseorang untuk melakukan suatu kegiatan yang dinyatakan dalam bentuk usaha yang keras atau lemah ( Hariandja, 2002: 321).
Dari beberapa defenisi motivasi di atas dapat disimpukan bahwa motivasi belajar adalah suatu faktor atau dorongan yang menggerakkan seseorang untuk belajar guna mencapai suatu tujuan tertentu. Peran guru memang kompleks dan merupakan bahan yang penuh dengan bumbu yang selama proses motivasi ini berlangsung dapat menjadi promotor individu, anggota kelompok, atau manajer tim (Petersen, 2008:12). Guru harus mampu menempatkan dirinya sebagai motor penggerak motivasi belajar siswa.
            Motivasi sering diartikan dengan istilah dorongan atau daya gerak. Motivasi merupakan kondisi yang mendorong individu untuk melakukan sesuatu. Motivasi merupakan sejumlah proses yang bersifat internal dan eksternal bagi individu, yang menyebabkan timbulnya sikap antusiame dalam melakukan kegiatan- kegiatan tertentu (Astuti dan Resminingsih, 2010: 67).
            Ada dua jenis motivasi, yaitu motivasi intrinsik dan motivasi ekstrinsik.
a.    Motivasi intrinsik, yaitu dorongan yang berasal dari dalam diri seseorang dan tidak perlu rangsangan dari luar. Motivasi intrinsik umumnya terkait dengan adanya bakat dan faktor intelegensi dari dalam diri siswa.
b.    Motivasi ekstrinsik, yaitu dorongan yang berasal dari luar diri seseorang. Motivasi ekstrinsik adalah bentuk dorongan belajar untuk prestasi yang diberikan oleh orang lain, seperti semangat, pujian dan nasehat guru ,orang tua, saudara dan orang yang dicintai (Hapsari, 2005: 74). Jika seorang siswa memiliki kedua jenis motivasi ini, maka dorongan belajarnya akan sangat kuat dan tujuan dari sebuah pembelajaran akan dapat tercapai dengan maksimal.

D.      Metode Pembelajaran Kooperatif Model Make a Match
1.        Metode Pembelajaran
Metode adalah cara kerja yang bersistem untuk memudahkan pelaksanaan suatu kegiatan guna mencapai tujuan yang ditentukan (Departemen Agama RI, 19:2001). Metode adalah suatu proses yang terencana yang diterapkan dalam upaya mencapai suatu tujuan.
Hendaknya guru melibatkan siswa dalam setiap kegiatan yang dilakukannya, memberi kesempatan kepada siswa untuk berfikir dan berbuat, serta mendorong mereka untuk dapat mandiri dalam segala hal yang dapat dilakukan di dalam belajar dan meneliti (Departemen Agama RI, 89: 2002). Seorang guru tidak seharusnya memonopoli kelas secara terus menerus dan menjadikan siswa pasif dalam aktivitas belajarnya. Guru hendaknya menerapkan sebuah metode yang mengaktifkan siswa sesuai dengan prinsip CBSA (Cara Siswa Belajar Aktif).
2.        Metode Pembelajaran Kooperatif
Metode Pembelajaran dapat diartikan sebagai cara yang digunakan untuk mengimplementasikan rencana yang sudah disusun dalam bentuk kegiatan nyata dan praktis untuk mencapai tujuan pembelajaran. Terdapat beberapa metode pembelajaran yang dapat digunakan untuk mengimplementasikan strategi pembelajaran, diantaranya: ceramah, demonstrasi, diskusi, simulasi, laboratorium, debat dan lain sebagainya. Dapat pula dikatakan bahwa metode adalah prosedur pembelajaran yang difokuskan ke pencapaian tujuan.
Kagan memberikan gambaran transformasi dari pembelajaran tradisional ke pembelajaran kooperatif. Transformasi tersebut dapat dilihat pada table berikut.


FROM TRADITIONAL TO COOPERATIVE LEARNING
FROM
TO
A good class is a quiet class (kelas yang baik adalah kelas yang tenang)
Learning involves healthy noise (belajar itu  menimbulkan kebisingan yang baik)
Keep you eyes on your paper (senantiasa memperhatikan buku)
Help your partner solve it (menyelesaikan masalah dengan bekerjasama dengan teman)
Sit quietly (senantiasa duduk dengan diam dan tenang)
Get up and look what others did (Bergerak dan simak apa yang dilakukan oleh teman kelas yang lainnya)
Talking is cheating ( siswa dilarang berbicara)
Verbalize to learn (siswa diajar untuk berbicara)
Tabel 1. Transformasi Pembelajaran Tradisional ke Pembelajaran Kooperatif (Kagan, 2013: 20)
Metode pembelajaran tradisional bersifat TCL (Teacher Centered Leraning) yaitu pembelajaran berpusat pada guru dimana siswa hanya duduk diam dan mendengarkan penyampaian guru sesuai dengan buka paket sebagai sumber pustaka. Sebaliknya pembelajaran kooperatif bersifat SCL (Students Centered Learning) yaitu pembelajaran berpusat pada siswa yang aktif mengekspresikan ide- ide mereka sesuai dengan model dan tema pembelajaran. Menurut Kagan, ciri khas utama dari metode pembelajaran kooperatif adalah senantiasa melakukan interaksi positif dengan teman yang lain yang dengannya dapat melatih rasa percaya diri siswa untuk berkarya.
Dalam sebuah blog yang ditulis oleh Ramadhan, digambarkan sebuah hasil temuan lapangan yang dilakukan oleh Widyaningsih dkk. Mereka melakukan penelitian dengan judul Cooperative Learning sebagai Model Pembelajaran Alternatif untuk Meningkatkan Motivasi Siswa pada Mata Pelajaran Matematika. Penelitian Widyaningsih mengambil tiga tipe pembelajaran kooperatif yaitu STAD, Jigsaw, dan Make a Match. Penerapan Cooperative Learning menurut hasil penelitian Widyaningsih dapat disimpulkan bahwa pelaksanaan cooperative learning dalam pembelajaran matematika dapat menggunakan berbagai model serta efektif jika digunakan dalam suatu periode waktu tertentu. Suasana positif yang timbul dari cooperative learning memberikan kesempatan kepada siswa untuk mencintai pelajaran dan guru matematika. Dalam kegiatan-kegiatan yang menyenangkan siswa merasa lebih termotivasi untuk belajar dan berpikir. Namun tidak menutup kemungkinan kericuhan di dalam kelas akan terjadi (Tarmizi, 2008).
Dari kata kooperatif sudah tergambar bagaimana bentuk pelaksanaan metode pembelajaran tersebut. Kooperatif merupakan bahasa saduran dari Bahasa Inggris yang berarti kerja sama. Artinya adalah model apapun, media apapun, dengan siapapun dan materi pelajaran apapun, maka seluruh aktivitas belajar dilaksanakan dengan cara bekerja sama antara satu siswa dengan siswa yang lainnya. Hal tersebut dimaksudkan agar tercipta keakraban di dalam kelas di antara semua siswa dan agar tidak terjadi pemisahan antara siswa yang pandai dan tidak.  Di samping itu, metode ini melatih siswa bekerja tim dan saling membantu dalam memecahkan masalah sehingga tercipta suasana kelas yang akrab dan menyenangkan.
3.        Metode Pembelajaran Make a Match
Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, Metode Pembelajaran Kooperatif Model Make a Match adalah model pembelajaran mencari pasangan. Setiap siswa mendapat sebuah kartu (bisa soal atau jawaban), lalu secepatnya mencari pasangan yang sesuai dengan kartu yang ia pegang. Suasana pembelajaran dalam Metode Pembelajaran Make a Match akan riuh, tetapi sangat asik dan menyenangkan (Dzaki. 2009).
Metode pembelajaran model Make a Match atau bertukar pasangan merupakan teknik belajar yang memberi kesempatan siswa untuk bekerja sama dengan orang lain. Teknik ini bisa digunakan dalam semua mata pelajaran dan untuk semua tingkatan usia anak didik (Liem, 2008: 56)
Langkah-langkah Metode Pembelajaran Kooperatif Model Make a Match adalah sebagai berikut :
a.         Guru menyiapkan beberapa kartu yang berisi beberapa konsep atau topik yang cocok untuk sesi review, sebaliknya satu bagian kartu soal dan bagian lainnya kartu jawaban.
b.        Setiap siswa mendapat satu buah kartu.
c.         Tiap siswa memikirkan jawaban/soal dari kartu yang dipegang.
d.        Setiap siswa mencari pasangan yang mempunyai kartu yang cocok dengan kartunya. Artinya siswa yang kebetulan mendapat kartu ‘soal’ maka harus mencari pasangan yang memegang kartu ‘jawaban soal’ secepat mungkin. Demikian juga sebaliknya.
e.         Setiap siswa yang dapat mencocokkan kartunya sebelum batas waktu diberi poin.
f.         Setelah satu babak kartu dikocok lagi agar tiap siswa mendapat kartu yang berbeda dari sebelumnya.
g.        Demikian seterusnya sampai semua kartu soal dan jawaban jatuh ke semua siswa.
h.        Kesimpulan/penutup.
Di akhir pembelajaran, guru memberi kesimpulan dari hasil yang didapatkan oleh siswa dengan tujuan memberikan kesamaan persepsi dan meluruskan hal- hal yang dianggap perlu.
Setiap metode atau strategi pembelajaran tentunya memiliki kelebihan dan kekurangan, tidak terkecuali dengan Metode Pembelajaran Kooperatif Model Make a Match. Kelebihan dari model pembelajaran ini adalah:
a.         Dapat meningkatkan aktivitas belajar siswa, baik secara kognitif maupun fisik.
b.        Ada unsur permainan, sehingga metode ini menyengkan.
c.         Meningkatkan pemahaman siswa terhadap materi yang dipelajari dan dapat meningkatkan motivasi belajar siswa.
d.        Efektif sebagai sarana melatih keberanian siswa untuk tampil presentasi.
e.         Efektif melatih kedisiplinan siswa menghargai waktu untuk belajar.
Adapun kelemahan dari Metode Pembelajaran Kooperatif Model Make a Match ini adalah:
a.         Jika metode pembelajaran ini tidak dipersiapkan dengan baik, akan banyak waktu yang terbuang.
b.        Pada awal-awal penerapan metode, banyak siswa yang akan malu berpasangan dengan lawan jenisnya.
c.         Jika guru tidak mengarahkan siswa dengan baik, akan banyak siswa yang kurang memperhatikan pada saat presentasi pasangan.
d.        Guru harus hati-hati dan bijaksana saat memberi hukuman pada siswa yang tidak mendapat pasangan, karena mereka bisa malu.
f.         Menggunakan metode ini secara terus menerus akan menimbulkan kebosanan (Huda, 2013: 253-254).
Dengan memahami akan kelebihan dan kekurangan metode pembelajaran ini, maka guru hendaknya telah mempersiapkan langkah- langkah antisipatif agar penerapan metode ini dapat berjalan sesuai yang diharapkan. Termasuk dalam mengatasi kebosanan, seorang guru perlu membuat selingan dan mengelola metode pembelajaran dengan lebih kreatif.



BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
A.      Jenis Penelitian
Ada beberapa tipe penelitian, yaitu penelitian eksploratif, penelitian deskriptif, penelitian ekspalanatif, dan penelitian eksperimen. Penelitian eksploratif berhubungan dengan pertanyaan dasar “apa”. Penelitian deskriptif berhubungan dengan pertanyaan dasar “bagaimana”. Penelitian jenis eksplanatif bertitik tolak pada pertanyaan dasar “mengapa”.  Penelitian eksperimen bertolak pada penemuan- penemuan baru yang belum memiliki data sebagaimana tiga tipe penelitian sebelumnya. Penelitian ini harus dilakukan agar dapat menghasilkan sebuah data. Tipe penelitian ini sangat berguna untuk mengembangkan inovasi- inovasi yang berguna dalam meningkatkan kualitas hidup manusia (Gulo, 2000: 17).
Di antara tipe- tipe penelitian yang ada, tipe penelitian yang digunakan pada penelitian ini adalah penelitian eksperimen dengan jenis Penelitian Tindakan Kelas (Class Action Reserach). Pendekatan Penelitian Tindakan Kelas ini merupakan sebuah pendekatan yang sangat tepat diterapkan di kelas guna membangun  kecakapan dan keterampila siswa. Siswa akan diminta untuk terus menerus mengikuti jalannya penelitian hingga dicapai tujuan yang diharapkan, dalam hal ini pencapaian nilai ketuntasan belajar, baik secara individual maupun klasikal. Berbeda dengan jenis penelitian non PTK yang hanya melakukan riset sekali kemudian menyimpulkan, penelitian PTK ini akan terus berulang dalam artian putaran siklus terus dilangsungkan hingga tujuan yang diharapkan tercapai.
Penelitian Tindakan Kelas dalam bahasa Inggris disebut dengan istilah classroom action research. Dari nama tersebut terkandung tiga kata yaitu:
1.      Penelitian, menunjukkan pada suatu kegiatan mencermati suatu objek dengan menggunakan cara dan aturan metodologi tertentu untuk memperoleh data atau informasi yang bermanfaat dalam meningkatkan mutu suatu hal yang menarik minat dan penting bagi peneliti.
2.       Tindakan, menunjukkan pada suatu gerak kegiatan yang sengaja dilakukan dengan tujuan tertentu. Dalam penelitian berbentuk rangkaian siklus kegiatan untuk siswa.
3.       Kelas, dalam hal ini tidak terikat pada pengertian ruang kelas, tetapi dalam pengertian yang lebih spesifik, yakni sekelompok siswa yang dalam waktu yang sama menerima pelajaran yang sama dari guru yang sama pula. (Arikunto, et. al. 2007: 1-2)
 Dengan menggabungkan ketiga kata tersebut diatas, yakni (1) penelitian, (2) tindakan dan (3) Kelas, dapat disimpulkan bahwa penelitian tindakan kelas merupakan suatu pencermatan terhadap kegiatan belajar berupa sebuah tindakan, yang sengaja dimunculkan dan terjadi dalam sebuah kelas secara bersama. Tindakan tersebut diberikan oleh guru atau dengan arahan dari guru yang dilakukan oleh siswa. (Arikunto, et.al. 2007: 3)
Alur Penelitian Tindakan Kelas ini berupa siklus yang mana tiap siklus mencakup perencanaan, pelaksanaan tindakan, observasi dan refleksi. PTK ini dinamakan tipe siklus karena tipe ini lebih menonjolkan kegiatan yang harus dilaksanakan penulis dalam setiap kali putaran (Sanjaya, 2010: 54).
Tipe Penelitian Tindakan Kelas yang baik adalah tipe yang dapat membantu pengguna untuk mengerti dan memahami suatu proses penelitian, baik secara mendasar maupun menyeluruh. Ada beberapa tipe- tipe Penelitian Tindakan Kelas, yaitu Tipe Kurt Lewin, Tipe Kemmis dan McTaggart, Tipe John Elliot, Tipe Dave Ebbut, dan Tipe Hopkins. Tipe yang digunakan dalam penelitian ini adalah Tipe Kurt Lewin, yaitu dalam satu siklus, terdiri atas empat tahapan, dimana penelitian tindakan terjadi proses yang dalam suatu lingkaran terus menerus meliputi empat hal berikut:
1.  Perencanaan (planning) adalah proses menentukan program perbaikan yang berangkat dari suatu ide gagasan peneliti.
2.   Aksi atau tindakan (implementing) adalah perlakuan yang dilaksanakan oleh peneliti sesuai dengan perencanaan yang telah disusun oleh peneliti.
3. Observasi (observing) adalah pengamatan yang dilakukan untuk mengetahui efektifitas tindakan atau mengumpulkan informasi tentang berbagai kekurangan tindakan yang telah dilakukan.
4. Refleksi (reflecting) adalah kegiatan menganalisis tentang hasil observasi sehingga memunculkan program atau perencanaan baru. (Fitrianti, 2016 :21)
Keempat tahapan Penelitian Tindakan Kelas ini harus terlaksana secara keseluruhan, jika salah satunya ditiadakan maka tujuan Penelitian Tindakan Kelas Ini tidak dapat tercapai.

B.       Rancangan Penelitian
Tipe Penelitian Tindakan Kelas yang digunakan adalah Tipe Kurt Lewin yang dilaksanakan melalui empat tahapan utama yaitu perencanaan, pelaksanaan tindakan, observasi atau pengamatan, dan refleksi seperti seperti telah dijabarkan di atas. Empat tahapan utama tersebut yang saling berkaitan sering disebut dengan istilah siklus. Dalam Penelitian Tindakan Kelas hasil yang belum baik harus diulang kembali dan perencanaan diulang kembali jika pada siklus sebelumnya belum memperlihatkan hasil dari tujuan yang akan dicapai (Fitrianti, 2016: 29).
Siklus akan terus diulang hingga target yang ingin dicapai terpenuhi. Tipe Penelitian Tindakan Kelas  yang dipakai dalam penelitian ini adalah Tipe Penelitian Kurt Lewin. Adapun langkah- langkah penerapan atau alur siklusnya dapat dilihat pada gambar berikut:


Gambar 1. Desain Penelitian Tindakan Kelas Tipe Kurt Lewin
Gambar di atas menerangkan dua siklus yang mana dalam siklus tersebut terdapat empat tahapan kegiatan yang secara berurut dimulai dari tahap perencanaan, kemudian tahap aksi atau tindakan, kemudian tahap observasi, dan terakhir tahap refleksi. Apabila pada siklus pertama belum dicapai hasil yang diinginkan, maka akan dilanjut dengan siklus kedua, demikian seterusnya hingga tujuan yang dinginkan tercapai. Berikut penjelasan singkat mengenai tahapan- tahapan kegiatan dalam sebuah siklus:
1. Perencanaan, sebagai langkah awal penelitian agar proses penelitian berjalan maksimal, diperlukan membuat perencanaan yang matang terlebih dahulu. Adapun hal- hal yang dipersiapkan pada tahap perencanaan adalah rumusan masalah yang ingin dipecahkan, target yang ingin dicapai, dan instrumen yang digunakan selama proses penelitian berlangsung.
2.  Tindakan, merupakan inti dari penelitian dimana peneliti menjalankan proses pembelajaran dengan menerapkan metode pembelajaran yang telah ditentukan. Dalam tahapan tindakan ini peneliti berupaya maksimal untuk meningkatkan motivasi dan prestasi belajar siswa dari satu pertemuan ke pertemuan berikutnya.
3. Observasi, merupakan tahapan yang sangat penting dalam Penelitian Tindakan Kelas. Observasi ini penting agar peneliti dapat menyimak dan mengevaluasi jalannya penelitian. Dalam tahap observasi ini, peneliti dapat terlibat secara langsung dalam kegiatan yang dikenal dengan istilah observasi partisipan dan dapat pula hanya mengamati dari luar kegiatan atau dikenal dengan istilah observasi non partisipan.
4. Refleksi, merupakan tahap akhir dari siklus, yaitu mengkaji hasil pengamatan dan mengevaluasi hal- hal yang perlu dibenahi atau dikembangkan pada pelaksanaan siklus berikutnya jika diperlukan.

Langkah- langkah seperti gambar di atas dapat dikembangkan lagi menjadi beberapa siklus yang akhirnya menjadi kumpulan beberapa siklus seperti gambar berikut:


 

C.      Tempat dan Waktu Penelitian
1.    Tempat Penelitian
Tempat penelitian adalah lokasi dimana penelitian dilaksanakan. Penelitian ini dilaksanakan di SDN ..............................................
2.    Waktu Penelitian
Waktu Penetilian Tindakan Kelas ini dimuali pada tanggal 10 Februari dan Berakhir pada 13 April 2014. Penelitian berlangsung pada semester genap tahun ajaran 2013/2014.

D.      Subyek Penelitian
Subyek penelitian adalah sasaran penelitian. Subyek dalam penelitian ini adalah siswa Kelas IV SDN ...........................yang terdiri atas 40 orang siswa, 22 orang siswa laki- laki dan 18 orang siswa perempuan dengan pokok bahasan nama iman pada Malaikat.

E.       Instrumen Penelitian
Dalam sebuah penelitian, dibutuhkan suatu alat yang dipakai untuk mengumpulkan data. Alat itulah yang kita sebut dengan instrumen penelitian. Instrumen penelitian adalah pedoman tertulis tentang wawancara, atau pengamatan, atau daftar pertanyaan yang dipersiapkan untuk mendapatkan informasi dari responden. Instrumen itu disebut sebagai pedoman pengamatan atau pedoman wawancara atau kuesioner atau pedoman dokumenter, sesuai dengan metode yang dipergunakan (Gulo, 2000:123).
Instrumen penelitian adalah  suatu alat yang dipergunakan untuk mengukur fenomena alam maupun sosial yang diamati  (Sugiyono, 2009: 148). Dalam penelitian ini, penulis mengumpulkan data yang berkaitan dengan judul penelitian dengan menggunakan instrumen atau alat penelitian berupa tes, pedoman observasi dan pedoman kuesioner.
Mulyasa memberi pengertian bahwa pedoman observasi adalah instrumen untuk mengadakan pengamatan terhadap aktivitas dan kreativitas peserta didik dalam pembelajaran, baik itu di dalam kelas maupun di luar kelas (Mulyasa, 2009: 69). Pedoman ini dilaksanakan selama proses penelitian berlangsung. Penulis menggunakan observasi non partisipan, yaitu tidak ikut terlibat dalam aktivitas penerapan model pembelajaran ini, melainkan hanya mengarahkan, mengamati dan mengevaluasi. Penulis meminta bantuan seorang pengamat untuk melakukan pengamatan selama proses penelitian ini berlangsung.

F.       Prosedur Penelitian
Prosedur penelitian dibutuhkan agar penelitian berjalan dengan sistematis dan terarah. Ada tiga tahapan dalam prosedur penelitian yakni tahap persiapan, tahap pelaksanaan, dan tahap penyelesaian.
1.    Tahap Persiapan
Pada tahap persiapan, beberapa hal yang perlu dipersiapkan adalah: (a) Identifikasi masalah. Peneliti mengidentifikasi masalah dan metode untuk mengatasi masalah tersebut; (b) Peneliti menyiapkan kajian pustaka sebagai sumber referensi atau bahan ajar selama proses penelitian, dalam hal ini bahan ajar tentang iman kepada Malaikat; (c) Peneliti menyiapkan media pembelajaran jika dianggap perlu untuk memaksimalkan jalanya pembelajaran;                 (d) Menyiapkan alat evaluasi; (e) Mengatur posisi kelas jika dianggap perlu dan sesuai dengan prosedur metode pembelajaran yang digunakan. 
2.    Tahap Pelaksanaan
Pada tahap pelaksanaan ini, peneliti perlu menerangkan dengan jelas kepada seluruh siswa mengenai metode pembelajaran yang akan diterapkan. Setelah siswa memahami alur metode pembelajaran, guru saatnya menjalankan kelas sesuai dengan metode pembelajaran yang disepakati.  Pada tahap ini berlangsung pula observasi dan refleksi untuk mengevaluasi hal- hal yang perlu dikembangkan atau direduksi untuk perbaikan pada siklus berikutnya.
3.     Tahap Penyelesaian
Setelah proses penelitian di kelas berakhir, maka peneliti perlu mempertanggunmgjawabkan hasil penelitiannya dengan membuat draft atau laporan mengenai hasil penelitiannya. Dalam prosesnya, peneliti akan menemui banyak arahan dan perbaikan penyusunan yang kemudian disusun dalam bentuk Karya Tulis Ilmiah sesuai peruntukannya. Kemudian yanmg terakhir adalah menggandakan laporan hasil penelitian tersebut untuk dipergunakan berbagai pihak sebagaimana mestinya.

G.      Analisis Data
Setelah mendapatkan data- data dengan menggunakan instrumen penelitian, maka selanjutnya data tersebut dikumpulkan untuk selanjutnya dianalisis dengan menggunakan analisa kuantitatif dan analisa kualitatif.
Untuk analisis kualitatif, menurut Muhammad Ali, ada tiga tahapan dalam analisis data yaitu sebagai berikut:
1.        Reduksi data (data reduction), adalah proses memilih, menyederhanakan, menfokuskan, mengabstraksi, dan mengubah data kasar yang muncul dari catatan- catatan lapangan.
2.        Penyajian data (data display ) adalah suatu cara merangkai data dalam suatu organisasi yang memudahkan untuk membuat kesimpulan atau tindakan yang diusulkan.
3.        Verifikasi data atau penarikan kesimpulan dari data yang telah dianalisis.Kesimpulan dalam penulisan kualitatif menjadi saripati jawaban rumusan dan isinya merupakan kristatlisasi data lapangan yang berharga bagi praktik dan pengembangan ilmu (Ali dalam Latif, 2012: 79-80).
Selanjutnya, untuk analisis kuantitatif, analisis data ini dihitung dengan menggunakan statistik sederhana sebagai berikut:
1.    Menilai rata- rata hasil tes
X = ΣX
      ΣN

 
Pada penilaian rata- rata hasil tes siswa, peneliti menjumlah keseluruhan skor yang diperleh siswa kemudian dibagi dengan jumlah siswa yang berpartisipasi dalam penelitian. Menghitung nilai rata- rata kelas dapat dilihat pada rumus berikut:

            

Dengan: X            = Nilai rata- rata
                    ΣX           = Total jumlah nilai siswa
         ΣN     = Jumlah siswa
2.    Menilai ketuntasan belajar
              Terdapat dua aspek penilaian terhadap ketuntasan belajar siswa, yaitu penilaian secara individual dan penilaian secara klasikal. Berdasarkan petunjuk pelaksanaan belajar mengajar di SDN Tanggul Patompo 1 Makassar untuk siswa kelas empat (IV), dinyatakan  telah tuntas belajar jika skor hasil tesnya mencapai  80% atau angka 8. Kemudian dari skor masing- masing individu dihitung, apabila 85% dari siswa yang mengikuti pembelajaran mencapai nilai ketuntasan belajar, maka kelas tersebut dapat dinyatakan tuntas.
              Berikut rumus menentukan ketuntasan belajar secara klasikal.
 


3.    Menilai prestasi belajar
Kriteria yang digunakan untuk mengukur hasil belajar siswa adalah kriteria penilaian standar yang diungkapkan Arikunto dalam Yaumi (201: 162)
Tabel 2. Acuan Kriteria Penilaian

ANGKA 100
ANGKA 10
KETERANGAN
0-54
0-5.4
Sangat Rendah
55-64
5.5-6.4
Rendah
65-79
6.5-7.9
Sedang
80-89
8.0-8.9
Tinggi
90-100
9.0-10
Sangat Tinggi




BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Hasil penelitian ini dibuat berdasarkan data yang diperoleh dengan menggunakan berbagai instrumen penelitian selama Penelitian Tindakan Kelas dengan menggunakan Metode Pembelajaran Kooperatif  Model Make a Match pada siswa Kelas IV SDN Tanggul Patompo 1 Kota Makassar. Penelitian ini dilaksanakan sebanyak dua siklus dengan menganalisis aktivitas pembelajaran dan hasil tes awal, tes akhir siklus I dan tes akhir Siklus II.
A.      Hasil Kuantitatif Belajar Siswa
1.    Analisis deskriptif prestasi belajar sebelum menggunakan Metode Pembelajaran Kooperatif Model Make a Match.
            Berdasarkan analisis deskriptif tes awal, prestasi belajar siswa sebelum menggunakan Metode Pembelajaran Kooperatif  Model Make a Match dapat dilihat pada tabel berikut:
Statistik
Nilai Statistik
Subjek
Skor ideal
Skor maksimum
Skor Minimum
Rentang Skor
Skor rata-rata
40
10
8.5
6.5
2
7.48
Tabel 3. Statistik Skor Penguasaan Siswa sebelum Metode Pembelajaran Kooperatif  Model Make a Match.
Pada tabel 3 menunjukkan bahwa skor rata- rata prestasi belajar PAI sebelum menggunakan Metode Pembelajaran Kooperatif  Model Make a Match adalah 7.48 dari skor ideal 10. Banyaknya siswa yang tuntas sebanyak 13 orang atau hanya 37.8% dari keseluruhan jumlah siswa, sedangkan yang tidak tuntas sebanyak 27 orang atau 62.2 % dari keseluruhan jumlah siswa. Skor maksimal yang diperoleh siswa pada tes awal adalah 8.5 dan skor minimum yang diperoleh siswa adalah 6.5.
            Apabila kemampuan siswa menyelesaikan soal- soal pada tes awal dianalisis, maka persentase ketuntasan belajar siswa pada tes awal dapat dilihat pada tabel berikut.
Skor
Frekuensi
Persentase
Kategori
0<x < 7.9
8<x<10
27
13
67.5%
32.5%
Tidak tuntas
Tuntas
Tabel 4. Ketuntasan Belajar Siswa pada Tes Awal sebelum Menerapkan Metode Pembelajaran Kooperatif  Model Make a Match.
            Dari tabel di atas  menunjukkan bahwa pada tes awal persentase ketuntasan siswa sebesar 32,5% yaitu 13 dari 40 siswa termasuk dalam kategori tuntas, sedangkan 67,5 % yaitu 27 dari 40 siswa termasuk dalam kategori tidak tuntas.
Kategori hasil belajar siswa sebelum diterapkan Metode Pembelajaran Kooperatif  Model Make a Match dapat dilihat pada table berikut.

SKOR
FREKUENSI
KETERANGAN
0-5.4
0
Sangat Rendah
5.5-6.4
0
Rendah
6.5-7.9
27
Sedang
8.0-8.9
13
Tinggi
9.0-10
0
Sangat Tinggi
Tabel 5. Kategori Prestasi Belajar Siswa sebelum Menerapkan Metode Pembelajaran Kooperatif  Model Make a Match.
Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa berdasarkan hasil pre test, kategori prestasi belajar PAI siswa adalah tidak ada siswa dalam kategori sangat rendah,tidak ada siswa dalam kategori rendah, 27 siswa dalam kategori sedang, 13 siswa dalam kategori tinggi, dan tidak ada  siswa yang mencapai kategori sangat tinggi.
2. Analisis deskriptif hasil tes akhir siklus I
a.    Perencanaan Tindakan
            Dalam pelaksanaan penelitian ini, penulis mempersiapkan seluruh kebutuhan yang terkait dengan penelitian terlebih dahulu, yaitu: bahan pretest dan postest, RPP, lembar observasi dan alat pendukung lainnya berupa kartu bermain. Pada siklus ini, penulis merancang tiga kali pertemuan.
b.    Pelaksanaan Tindakan
Pertemuan I
 Pada pertemuan pertama, siswa mulai diberikan bahan ajar dengan pokok bahasan iman kepada Malaikat dengan menerapkan Metode Pembelajaran Kooperatif  Model Make a Match. Penulis menyediakan kartu yang berisi soal dan jawaban dengan jumlah kartu sebanyak jumlah siswa. Di akhir pembelajaran, terbentuk pasangan siswa yang memegang kartu soal dan jawaban yang dianggap sepadan.
Pertemuan II
Sama halnya dengan pertemuan pertama, pada pertemuan kedua siswa diberikan materi pelajaran pokok bahasan iman kepada Malaikat. Hampir tidak ada perbedaan penerapan pada pertemuan pertama dan kedua. Penulis berupaya untuk mengadaptasikan terlebih dahulu siswa dengan metode ini agar dapat berjalan sesuai langkah- langkahnya.
Pertemuan III
Pada pertemuan ketiga ini, penulis memberi hadiah bagi pasangan yang dapat menemukan kartu pasangannya paling cepat. Tidak jauh berbeda dengan pertemuan sebelumnya, siswa diberikan materi dengan menerapkan Metode Pembelajaran Kooperatif  Model Make a Match  dan latihan menjawab soal sebagai evaluasi siklus I.
c.    Observasi
Berdasarkan pada observasi yang dibuat oleh penulis, data yang didapatkan adalah sebagai berikut:
1)   Pada siklus pertama pertemuan pertama, terlihat siswa lebih tertarik dari sebelumnya. Mereka senang dengan tersedianya kartu sebagai media pendukung. Penulis masih membutuhkan usaha maksimal untuk mengatur siswa karena bagi siswa pengalaman ini adalah yang pertama kali bagi mereka, yaitu mendapatkan materi pelajaran dengan menggunakan Metode Pembelajaran Kooperatif  Model Make a Match.
2)    Pada pertemuan kedua siklus I, siswa nampak lebih siap menerima pelajaran Pendidikan Agama Islam. Siswa dengan semangat menanti instruksi penulis untuk memulai pelajaran. Kartu soal dan jawaban yang penulis sediakan terbuat dari karton dengan berbagai warna menarik. Siswa nampak senang berlomba menemukan siswa pasangan mereka. Bagi pasangan yang telah terbentuk, mereka dengan segera tanpa diarahkan lagi menuju pojok kelas yang telah disediakan.
3)   Pada pertemuan ketiga siklus I, penulis menanyakan perasaan siswa dengan Metode Pembelajaran Kooperatif  Model Make a Match. Hampir secara serentak mereka menyatakan suka dengan metode ini. Di akhir pembelajaran pada pertemuan ketiga ini, penulis memberi kuis kepada murid dengan soal yang terkait materi ajar.
d.        Refleksi dan Evaluasi
            Dari pengamatan pada siklus pertama, penulis menyimpulkan bahwa metode ini sangat tepat diterapkan di kelas. Siswa bersemangat menjalani jam pelajaran, berbeda dengan waktu- waktu sebelumnya. Hanya saja secara hasil belajar, ketuntasan belajar secara klasikal belum tercapai pada siklus ini, sehingga penulis memandang perlu untuk melanjutkan penelitian ke siklus ke dua.
            Pada siklus ini dilaksanakan tes prestasi belajar yang berbentuk ulangan harian. Adapun analisis deskriptif skor perolehan siswa setelah Metode Pembelajaran Kooperatif  Model Make a Match selama siklus I dapat dilihat pada tabel  berikut:
Satistik
Nilai statistik
Subjek
Skor Ideal
Skor Maksimum
Skor Minimum
Rentang Skor
Skor Rata- Rata
40
10
9.5
7.25
2.25
8,13
Tabel 6. Statistik Skor Penguasaan Siswa pada Tes Siklus I
            Tabel 6 di atas menunjukkan bahwa skor rata- rata prestasi belajar PAI setelah diterapkan Metode Pembelajaran Kooperatif  Model Make a Match pada siklus I adalah 8.13 dari skor ideal 100. Skor rata- rata yang diperoleh siswa pada tes siklus I sudah mengalami peningkatan dimana skor rata- rata meningkat dari 7.48 pada tes awal menjadi 8.13 pada siklus I
            Apabila kemampuan siswa menyelesaikan soal- soal pada tes siklus I dianalisis maka persentase ketuntasan belajar siswa pada tes siklus I dapat dilihat pada tabel berikut.

Skor
Frekuensi
Persen
Kategori
0< x < 7.9
8<x < 10
12
28
30%
70%
Tidak tuntas
Tuntas
Tabel 7. Tabel Distribusi Frekuensi Ketuntasan Belajar Siswa ada Tes Siklus I
Dari tabel tersebut menunjukkan bahwa pada tes siklus I persentase ketuntasan siswa sebesar 70% yaitu 28 dari 40 siswa termasuk dalam kategori tuntas, sedangkan 30 % yaitu 12 dari 40 siswa termasuk dalam kategori tidak tuntas, artinya dari 40 siswa terdapat sebagian kecil yang belum tuntas dan memerlukan perbaikan pada siklus II.
Kategori hasil belajar siswa setelah diterapkan Metode Pembelajaran Kooperatif  Model Make a Match siklus 1 dapat dilihat pada tabel berikut.

SKOR
FREKUENSI
KETERANGAN
0-5.4
0
Sangat Rendah
5.5-6.4
0
Rendah
6.5-7.9
12
Sedang
8.0-8.9
23
Tinggi
9.0-10
5
Sangat Tinggi
Tabel 8. Kategori Prestasi Belajar Siswa setelah Menerapkan Metode Pembelajaran Tipe Jigsaw pada Siklus I.
Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa berdasarkan hasil tes pada siklus I, kategori prestasi belajar PAI siswa adalah tidak ada siswa yang berada pada kategori sangat rendah dan kategori rendah, 12 orang siswa dalam kategori sedang, 23 orang siswa dalam kategori tinggi, dan 5 orang orang siswa yang mencapai kategori sangat tinggi.
3.   Analisis deskriptif Hasil Tes Akhir Siklus II
a.         Perencanaan Tindakan
            Perencanaan tindakan pada siklus II, penulis merancang pembelajaran dengan lebih matang agar pada siklus ke dua, tujuan dari Penelitian Tindakan Kleas ini dapat tercapai. Penulis menyediakan bahan ajar dan media yang lebih variatif untuk lebih meningkatkan motivasi belajar siswa.
b.        Pelaksanaan Tindakan
Pertemuan pertama
Pertemuan pertama pada siklus II, penulis mengubah sistem pencarian pasangan sebagaimana pada siklus pertama. Pada siklus ke dua,  siswa tidak hanya mencari seorang siswa yang sepadan dengan soal atau jawaban yang dimilikinya, akan tetapi, siswa diminta saling menemukan satu sama lain dengan siswa yang memiliki topik yang sama yang mana untuk setiap topik terdiri atas beberapa orang. Pada akhirnya terbentuk beberapa kelompok, bukan kali pasangan sebagaimana pada siklus 1.
Pertemuan kedua
Pada pertemuan kedua, metode mencari pasangannya masih sama dengan pertemuan pertama. Siswa terlihat sangat menikmati jalannya pembelajaran. Terlihat jelas, siswa yang semula pasif berubah menjadi aktif. Di sela- sela pembelajaran, penulis memberikan dorongan dan pujian atas keaktifan mereka di kelas.
Pertemuan ketiga
            Pertemuan ketiga siklus kedua adalah pertemuan terakhir siswa diberi tindakan. Kalau pada pertemuan siklus 1 siswa diminta mencari seorang pasangan, lalu pada siklus kedua pertemuan pertama dan kedua siswa diminta mencari beberapa teman kelompok, maka pada pertemuan ke tiga siswa diminta mencari teman kelompoknya yang sepadan sebanyak separuh dari jumlah siswa. Artinya adalah hanya terbentuk dua kelompok besar di akhir pembelajaran, dan salah satu dari kelompok mewakili kelompoknya menyampaikan hasil temuannya yang untuk selanjutnya dinilai oleh guru, dalam hal ini oleh penulis sendiri. Penulis juga menyediakan hadiah bagi kelompok yang paling cepat dan tepat.
Pertemuan keempat atau post test
Pada pertemuan keempat, penulis memberikan post test untuk mengukur prestasi belajar mereka. Penulis juga memberi kuesioner untuk mengukur motivasi belajar Pendidikan Agama Islam mereka dengan diterapkannya Metode Pembelajaran Kooperatif  Model Make a Match.
c.         Observasi
            Berdasarkan pada observasi yang penulis buat pada siklus kedua, maka data yang diperoleh adalah sebagai berikut:
1)   Pada pertemuan pertama, siswa nampak sangat bersemangat dari awal hingga akhir pembelajaran. Terjadi interaksi positif baik antar guru dengan siswa maupun antar siswa dengan siswa yang lainnya.
2)   Pada pertemuan kedua siswa tidak lagi canggung berinteraksi, saling bertanya, bertegur sapa dengan murid yang pendiam sekalipun. Penulis juga banyak melemparkan pertanyaan- pertanyaan kepada siswa jikalau siswa mengalami kendala.
3)   Pertemuan ketiga, kegaduhan di kelas semakin bertambah. Namun penulis memandang kegaduhan tersebut sebagai sesuatu yang positif. Siswa dengan antusias menggabungkan diri mereka ke dalam kelompok yang mereka anggap sesuai dengan kartu yang mereka miliki. Sangat jelas terlihat kepuasan pada diri siswa di akhir kelas dan keinginan mereka untuk belajar dengan menggunakan Metode Pembelajaran Kooperatif  Model Make a Match.  
d.        Refleksi dan Evaluasi
            Penulis menilai bahwa pada siklus kedua, peningkatan motivasi dan prestasi belajar siswa meningkat dengan pesat. Baik dianalisis secara kualitatif maupun kuantitatif, hasil yang ditujukkan oleh siswa setelah pelaksanaan siklus kedua sangat bagus. Penulis menilai tujuan yang ingin dicapai dari pelaksanaan Penelitian Tindakan Kelas ini telah tercapai pada putaran siklus kedua. 
            Berikut data statistik perolehan nilai siswa pada siklus II
Statistik
Nilai Statistik
Subjek
Skor Ideal
Skor Maksimum
Skor Minimum
Rentang Skor
Skor Rata- Rata
40
10
9.75
8
1.75
8.74
Tabel 9. Data  Statistik Skor Penguasaan Siswa pada Tes Siklus II  
Tabel 9 menunjukkan bahwa skor rata- rata prestasi belajar PAI setelah diterapkan Metode Pembelajaran Kooperatif  Model Make a Match pada siklus II adalah 8.74 dari skor ideal 10.
            Apabila kemampuan siswa menyelesaikan soal- soal pada tes siklus II dianalisis, maka persentase ketuntasan belajar siswa pada tes siklus II dapat dilihat pada tabel berikut.
Skor
Frekuensi
Persentase
Kategori
0< x 7.9
8.0 < x < 10
0
40
0
100
Tidak Tuntas
Tuntas
Tabel 10. Tabel distribusi frekuensi ketuntasan belajar siswa pada tes siklus II
            Dari tabel distribusi di atas, dapat dilihat bahwa banyaknya siswa yang tuntas 40 siswa, dengan persentase 100 %. Dari tes siklus I ke tes siklus II mengalami peningkatan yaitu dari 28 siswa yang tuntas pada tes siklus I meningkat pada tes siklus II menjadi 40 siswa. Siswa yang sebelumnya tidak tuntas sejumlah 12 orang, pada tes akhir siklus II menjadi tuntas. Dengan demikian dapat dinyatakan bahwa seluruh siswa Kelas IV SDN ...................................................mencapai nilai standar KKM setelah diterapkannya Metode Pembelajaran Kooperatif  Model Make a Match siklus II.
Kategori hasil belajar siswa siklus II pada penerapan Metode Pembelajaran Kooperatif  Model Make a Match dapat dilihat pada tabel berikut.

SKOR
FREKUENSI
KETERANGAN
0-5.4
0
Sangat Rendah
5.5-6.4
0
Rendah
6.5-7.9
0
Sedang
8.0-8.9
23
Tinggi
9.0-10
17
Sangat Tinggi
Tabel 11. Kategori Prestasi Belajar Siswa setelah Metode Pembelajaran Kooperatif  Model Make a Match pada Siklus II.
Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa berdasarkan hasil tes pada siklus II, kategori prestasi belajar PAI siswa adalah 0 siswa dalam kategori sangat rendah, 0 siswa dalam kategori rendah, 0 siswa dalam kategori sedang, 23 siswa dalam kategori tinggi, dan 17 orang siswa yang mencapai kategori sangat tinggi.


B.       Hasil Analisis Kualitatif
            Hasil data kuantitatif menggambarkan bagaimana metode yang diterapkan mampu meningkatkan prestasi belajar PAI siwa. Adapun hasil data kualitatif untuk menggambarkan kualitas siswa dari segi motivasi belajar dan keaktifan kelas.
            Berikut ini adalah data perubahan siswa selama proses kegiatan belajar mengajar dengan menerapkan Metode Pembelajaran Kooperatif  Model Make a Match.
1.    Kehadiran siswa dari pertemuan pertama hingga akhir sangat maksimal yaitu 100%. Semua siswa mengikuti jalannya penelitian dari pra siklus hingga post test pada siklus kedua.
2.    Siswa yang memperhatikan jalannya proses pembelajaran meningkat dari 51% pada pra siklus menjadi 75% pada siklus I dan kemudian meningkat lagi menjadi 100% pada siklus II. Peningkatan ini dikarenakan siswa merasa lebih nyaman dan seru dalam belajar, sebagaimana kecondongan siswa pada usia sekolah dasar yaitu kecondongan untuk belajar sambil bermain.
3.    Siswa yang meninggalkan aktivitas negatif selama proses pembelajaran seperti bermain, menggambar dan bercerita, meningkat dari 52,5%  pada siklus I menjadi 90% pada siklus II. Siswa menemukan bahwa belajar dengan Metode Pembelajaran Kooperatif Model Make a Match menyenangkan layaknya sedang bermain dengan teman.
4.    Siswa yang aktif dalam mengerjakan tugas pada saat pemberian tugas meningkat dari 57% pada siklus I menjadi 100% di siklus II. Hal ini membuktikan bahwa motivasi belajar siswa meningkat dengan Metode Pembelajaran Kooperatif  Model Make a Match ini.
5.    Siswa yang mampu menjawab atau mengerjakan soal mengalami peningkatan dari 70% siklus I menjadi 100% di siklus II.
6.    Siswa yang masih perlu bimbingan dalam mengerjakan soal latihan mengalami penurunan yang signifikan dari 30% pada siklus I menjadi 92% pada siklus II.

C.      Refleksi Terhadap Pelaksanaan Tindakan
1.    Sejak awal penerapan Metode Pembelajaran Kooperatif  Model Make a Match ini, siswa telah menampakkan ketertarikannya meskipun penulis masih membutuhkan pengarahan yang lebih karena metode ini adalah pertama kalinya bagi mereka. Setelah siswa terbiasa dan lebih memahami alur pelaksanaan Metode Pembelajaran Kooperatif  Model Make a Match, penulis memiliki ruang lebih luas untuk mengamati dan mengevaluasi hal-hal yang dianggap perlu untuk dibenahi pada pertemuan berikutnya. Pandangan siswa terhadap penerapan Metode Pembelajaran Kooperatif  Model Make a Match sangat positif. Siswa memberikan respon yang sangat baik. Hal ini terlihat dari bagaimana mereka melibatkan diri selama proses pembelajaran berlangsung dan terlihat dari hasil kuesioner yang diberikan kepada mereka.


D.      Pembahasan
1.    Motivasi Belajar Siswa dengan Penerapan Metode Pembelajaran Kooperatif  Model Make a Match.
Setelah melakukan pengamatan mendalam terhadap siswa yang menjadi subyek penelitian pada Penelitian Tindakan Kelas selama dua bulan dengan menggunakan Metode Pembelajaran Kooperatif  Model Make a Match, penulis dapat menyimpulkan bahwa motivasi belajar siswa meningkat pesat dibandingkan dengan pengalaman belajar sebelumnya.
            Indikasi meningkatnya motivasi belajar PAI siswa adalah adanya peningkatan dari beberapa aspek, yaitu hidupnya suasana kelas, partisipasi aktif siswa, kemampuan menyelesaikan soal- soal yang diberikan, dan penurunan aktivitas negative selama proses pembelajaran berlangsung. 
Metode belajar yang terasa sambil bermain ini menjadikan siswa menikmati kelas pembelajaran. Dampak positif lain yang dihasilkan dari metode ini adalah meningkatnya rasa percaya diri siswa dalam berinteraksi dan tampil di depan kelas. Hal tersebut tidak terlepas dari interaksi mendalam dengan siswa lainnya dan penguasaan mereka terhadap materi.
2.    Prestasi Belajar Siswa dengan Penerapan Metode Pembelajaran Kooperatif  Model Make a Match.
Prestasi belajar siswa terlihat meningkat dengan cukup signifikan setelah mendapatkan perlakuan dengan Metode Pembelajaran Kooperatif  Model Make a Match. Berdasarkan pada indikator keberhasilan, siswa dikatakan tuntas apabila memperoleh skor minimal 8 dari skor ideal dan tuntas belajar secara klasikal apabila 85% dari keseluruhan jumlah siswa mencapai nilai ketuntasan belajar. Hasil akhir analisis data menunjukkan bahwa siswa Kelas IV SDN Tanggul Patompo 1 Makassar tahun ajaran 2013/2014 telah mencapai tuntas, baik secara individual maupun secara klasikal.
Persentase peningkatan prestasi belajar siswa dapat dilihat sebagai berikut:
a.       Berdasarkan nilai rata-rata kelas siswa, secara berurut dari pra siklus, siklus I, dan siklus II adalah 7.48 >  8.13 > 8.74.
b.     Berdasarkan nilai ketuntasan belajar, secara berurut dari pra siklus, siklus I, dan siklus II adalah 32.5% > 70% > 100%.
c.     Berdasarkan kategori prestasi belajar siswa, secara berurut, jumlah siswa dari kategori rendah, sedang, tinggi, dan sangat tinggi adalah 0, 27, 13, dan 0 orang siswa pada pra siklus. Kemudian 0, 12, 23, dan 0 orang siswa pada siklus I. Kemudian pada siklus II, sudah tidak ada lagi siswa yang berada pada kategori rendah dan sedang. Kategori yang terisi hanya pada kategori tinggi sebanyak 23 orang siswa dan kategori sangat tinggi sebanyak 17 orang siswa.






BAB V
SIMPULAN DAN SARAN
A.                Simpulan
Setelah uraian- uraian dari bab awal hingga bab akhir, berikut ini adalah kesimpulan dari seluruh pembahasan- pembahasan yang terdahulu sekaligus menjawab masalah- masalah yang diuraikan di rumusan masalah, yaitu:
1.    Motivasi belajar siswa pada mata pelajaran Pendidikan Agama Islam meningkat dengan sangat baik dengan menerapkan Metode Pembelajaran Kooperatif  Model Make a Match.
2.     Metode Pembelajaran Kooperatif  Model Make a Match memiliki dampak yang sangat terlihat pada peningkatan prestasi belajar PAI siswa. Hal tersebut ditandai dengan  dengan meningkatnya nilai rata- rata kelas siswa, meningkatnya kategori prestasi belajar siswa, dan tercapainya nilai ketuntasan minimal baik secara individual maupun secara klasikal.
3.    Penerapan Metode Pembelajaran Kooperatif  Model Make a Match memiliki dampak positif lainnya selain pada peningkatan motivasi dan prestasi belajar siswa. Dampak tersebut di antaranya adalah meningkatnya rasa percaya diri siswa, interaksi antar siswa menjadi lebih harmonis dan menyenangkan, dan kebiasaan- kebiasaan negatif di kelas menjadi berkurang.


B.       Saran
Sebagaimana penulis berlapang dada menerima saran atau masukan dari berbagai pihak, penulis pun ingin menyampaikan beberapa saran terkait dengan Penelitian Tindakan Kelas ini. Beberapa saran tersebut adalah sebagai berikut:
1.    Pelaksanaan Metode Pembelajaran Kooperatif  Model Make a Match memerlukan pengaturan yang baik, karena jika tidak, kelas hanya akan menjadi gaduh tanpa didapatkan hasil yang diinginkan.
2.  Dalam penerapannya, terdapat beberapa langkah yang mempunyai durasi waktu masing- masing. Seorang guru harus mampu mengalokasikan waktu yang tepat sesuai dengan langkah- langkah yang ada agar proses pembelajaran berjalan efektif.
3. Bagi penulis atau peneliti selanjutnya, disarankan untuk memperkaya referensi dan pengamatan pada penelitian sebelumnya agar dapat melakukan penelitian yang lebih baik sehingga khasanah keilmuan kita mengenai Metode Pembelajaran Kooperatif  Model Make a Match ini lebih luas ke depannya.


DAFTAR PUSTAKA

Arikunto, Suharsimi,  et.al.  2007. Penelitian Tindakan Kelas. Jakarta: Bumi Aksara.
Astuti, Endang Sri dan Resminingsih. 2010. Bahan Dasar untuk Pelayanan Konseling pada Satuan Pendidikan Menengah. Jakarta: PT Grasindo.
Azizy, Qodry. 2003. Pendidikan Agama Untuk Membangun Etika Sosial, Mendidik Anak Sukses Masa Depan: Pandai dan Bermanfaat. Semarang: Aneka Ilmu.
Departemen Agama RI. 2001. Metodologi Pendidikan Agam Islam. Jakarta: Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam.
--------. 2002. Metodologi Pendidikan Agam Islam. Jakarta: Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1996. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
Departemen Pendidikan Nasional. 2003. Kurikulum Berbasis Kompetensi. Jakarata: Balitbang Depdiknas.
Djamarah, Syaiful Bahri dan Aswan Zain. 2006. Strategi Belajar Mengajar. Jakarta: Rineka Cipta.

Dzaki, M.F. (2009). Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Make a Match (membuat pasangan) – Langkah-Langkah Pembelajaran (online), (http://penelitiantindakankelas.blogspot.com/2009/03/model-pembelajaran-kooperatif-tipe-make.html diakses 22 April 2013)

Fitrianti. 2016. Sukses Profesi Guru dengan Penelitian Tindakan Kelas. Yogyakarta: Deeppublish

Gulo, W. 2000. Metodologi Penelitian. Jakarta: PT Grasindo

Hakim, Thursan. 2000. Belajar Secara Efektif, Panduan Menemukan Teknik Belajar. Jakarta: Puspa Swara.

Hapsari, Sri. 2005. Bimbingan dan Konseling SMA. Jakarta: PT Grasindo.
Huda, Miftahul. 2013. Model-model Pengajaran dan Pembelajaran. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Irmin, S., et al. 2004. Menjadi Guru yang Bisa Digugu dan Ditiru. Syeima Media

Kagan, Spencer. 2013. Kagan Cooperative Learning Structures. California: Kagan Publishing
Kementrian Agama RI. 2010. Syamil al Qur’an Terjemah Tafsir Perkata. Jakarta: Sigma Examedia Arkanleema.
KBBI. Defenisi prestasi belajar. http://kbbi.web.id/prestasi. Diakses pada 28 Oktober 2016
Hariandja, Marihot Tua Efendi. 2002. Manajemen Sumber Daya  Manusia. Jakarta: PT Grasindo
Latif, Yulmiati
Liem, Anita. 2008.  Cooperative Learning: Mempraktikkan Cooperative Learning di Ruang- Ruang Kelas. Jakarta: PT Grasindo.

Olivia, Femi. 2011. Tools for Study Skills, Teknik Ujian Efektif. Jakarta: PT Elex Media Komputindo.
Petersen, Lindy.2008. Bagaimana Memotivasi Anak Belajar, STOP and THINK Learning. Jakarta: PT Grasindo
Ramadhan, Tarmizi. 2008. Pembelajaran Kooperatif Make a Match. (http://tarmizi.wordpress.com/2008/12/03/pembelajaran-kooperatif-make-a-match diakses 20 April 2013)
Republik Indonesia.Undang-Undang RI No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. 2005. Yogyakarta: Pustaka Belajar

Rohani, A. 2004. Pengelolaan Pengajaran. Jakarta: Rineka Cipta
Sanjaya, Wina. 2010. Penelitian Tindakan Kelas. Jakarta: Kencana Prenada Media  Group
Sindonews. Kejahatan Anak. http://metro.sindonews.com/topic/919/kejahatan-anak. Diakses pada 20 Oktober 2016.
Sudjana, Nana. 2009. Cara Belajar Murid Aktif dalam Proses Belajar Mengajar. Bandung: Sinar Baru Algesindo.

Syah, Muhibbin. 2006. Psikologi Belajar. Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Wikipedia. Pengertian Motivasi. https://id.wikipedia.org/wiki/Motivasi. Diakses pada 19 Oktober 2016.






Bagikan

Jangan lewatkan

PTK MODEL MAKE A MATCH
4/ 5
Oleh

Subscribe via email

Suka dengan artikel di atas? Tambahkan email Anda untuk berlangganan.